Pendidikan formal bagi penduduk pribumi baru
berlangsung setelah Raja Belanda mengeluarkan keputusan nomor 95 tanggal 30
september 1848. Keputusan itu memberikan wewenang kepada Gubernur Jendral
Hindia Belanda untuk menyediakan dana sebesar 25 0000 gulden per tahun, guna
pendirian sekolah Bumiputra dipulau Jawa, dengan tujuan utama mendidik calon
calon pegawai negeri
Memasuki awal abad ke – 20 pendidikan di Hindia
Belanda termasuk di Majalengka ditandai dengan berkembangannya pendidikan
colonial sebagai dampak pertumbuhan perkebunan. Pendirian berbagai lembaga
pendidikan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dibidang administrasi, termasuk
administrasi perkebunan serta tenaga ahli lainnya.
Sekolah Desa di Majalengka mulai dibangun
ketika pemerintahan Bupati RAA Aria Sastra Ningrat 1902 – 1922 akan tetapi
sekolah dengan nama yang lain seperti madrasah dan sekolah pribumi sudah ada dalam
keterangan Kolonial verslag tahun
1864.
Dalam almanak Belanda tahun 1920 diterangkan
pekerjaan dan pangkat yang dapat dipegang atau dicapai oleh orang pribumi
adalah yang mempunyai pendidikan dasar. Sekolah pada masa penjajahan Belanda
itu dibagi menjadi dua macam ;
Kedua,Sekolah calon yaitu sekolah yang diterapkan,
untuk satu pekerjaan saja terdiri dari Osvia sekolah untuk anak anak bangsawan
untuk dijadikan pegawai pemerintah, Bestuursschool(sekolah
bistir), Kweekschool Voor Inlandshe
Onderwijzers (sekolah Raja), Normaalscholen
voor Inlandsche onderwijzers (sekolah Normal) dan lain lain.
Kondisi pendidikan di Majalengka kurang begitu
baik dibandingkan dengan daerah lain hal ini disebabkan kurang prasarana sekolah.
Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi , penduduk Majalengka
sering dihadapkan pada beberapa hambatan diantaranya politik Belanda yang
mengadakan diskriminasi di bidang pendidikan. Perbedaan ras dan dan warna
kulit(orang Eropa, Cina dan Pribumi). Pelayanan terhadap penduduk majalengka
pun demikian. Seperti perbedaan anak anak dari golongan rakyat jelata dengan anak anak pejabat seperti Bupati,
wedana dan lain lain mereka bisa bersekolah di sekolah Belanda seperti HIS. untuknya mereka dapat melanjutkan
ke MULO di Bandung yang lama pendidikannya selama tiga tahun.
Untuk bisa bersekolah di HIS tidaklah mudah
untuk kalangan rakyat biasa karena butuh biaya pendidikan sangat mahal untuk
ukuran ekonomi saat itu . Biaya sekolah di HIS sebesar tiga dacin beras (tiga
dacin sama dengan tiga kuintal beras cianjur yang paling bagus) jika dibayarkan
dengan uang sebesar dua perak setengah, dua perak lima ketip. Kecerdasan juga
ikut menentukan karena jika si anak tidak bisa mengikuti pelajaran maka bisa
dikeluarkan dari sekolah.Sesudah Indonesia merdeka dibekas gedung HIS Pada tahun 1950an di Majalengka berdiri Sekolah Guru bagian B atau disingkat SGB. Sekolah Guru ini memberlakukan sistim ikatan dinas dengan setiap bulannya menerima gaji 125 rupiah ,cukup untuk hidup satu bulan karena pada waktu itu membeli pakaian lengkap ;sarung, koko dan kopiah pun hanya seharga “satalen” atau 25 sen, bisa dibayangkan gaji yang didapatkan untuk memenuhi tuntutan hidup dijaman sekarang? Gaji pertama guru pada saat itu pun tidak jauh berbeda dengan murid SGB yaitu 148 Rupiah per bulan.
Selain menerima gaji
murid SGB juga disediakan asrama. Ada beberapa tempat asrama yang ada yaitu di
samping rumah Wedana Majalengka Wiraatmadja kalau sekarang Di jalan Sukarame atau
Letkol. Abdul Gani, asrama lainnnya di jalan Kh. Abdul Halim sekarang menjadi
gedung Graha Sindangkasih.
Setelah lulus dari
Sekolah Guru Bagian B bisa langsung
bertugas menjadi guru SD . Hanya Lulusan terbaik yang berhak mengikuti testing
untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah
Guru Bagian A disingkat SGA yang pada saat itu hanya ada di Bandung dan Bogor.
Lulusan SGA diperuntukan mengajar ditingkat SLTP
Seiring perkembangan
zaman untuk dituntut lebih meningkatkan kemampuan mengajar para guru maka tahun
60an SGB ditingkatkan Menjadi SGA dan selanjutnya menjadi Sekolah Pendidikan Guru atau disingkat SPG hal ini setara dengan SGA. Dan pada tahun
70an para guru lulusan SGB untuk meningkatkan kemampuan mengajar maka diadakan Kursus Pendidikan Guru atau KPG
yang bertempat digedung SPG atau gedung SMA 2
Madjalengka sekarang. Sampai saat ini gedung ini masih berdiri dan terawat , ikut andil dalam perkembangan sejarah kota Majalengka (dari berbagai sumber ; dan cerita kedua orangtua penulis sebagai lulusan angkatan pertama dan kedua dari SGB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar