Kamis, 14 April 2016

Kisah kartini Batavia asal Majalengka


Beliau lahir pada 17 Februari 1889 di Majalengka. Ayahnya, Auw Seng Hoe, adalah seorang pengusaha sekaligus Kapitan Tionghoa, yang memiliki kebun tebu dan pabrik gula. Kapitan Auw peduli kemanusiaan. Dia melakukan sejumlah kegiatan amal; menolong para gelandangan, tunanetra, dan tunawisma dengan menyediakan makanan dan tempat tinggal. Beruntung lahir dan besar dari orangtua yang berpikiran maju. Auw Tjoei Lan kecil tak dipingit seperti kebanyakan anak perempuan masa itu. Di rumah, dia dan saudara-saudaranya mendapat pendidikan Belanda dari seorang guru privat yang didatangkan dari Batavia. Ketika remaja, dia memperdalam pendidikan di Bogor dan tinggal di rumah keluarga seorang pendeta. Selepas dari Bogor, dia kembali ke Majalengka dan menjalankan kegiatan amal ayahnya. Dan ketika menikah, dia memiliki panti asuhan sendiri.
Suatu malam di Batavia pada 1930-an. Seorang perempuan Tionghoa, yang sebelumnya mendapat surat kaleng, bergegas menuju sebuah hotel di Kota. Tujuannya: mencari si pengirim surat, seorang perempuan tanpa identitas yang butuh pertolongan segera. Tiba di hotel, dia menemukan sebuah tong yang bergoyang. Dia buka. Isinya seorang gadis berusia sekira 14 tahun; si pengirim surat. Gadis itu baru datang dari Tiongkok, tak mengerti bahasa Melayu, dan akan dijadikan pelacur. Dia langsung menolongnya, membawa gadis malang itu ke panti asuhannya.

Dari gadis Tiongkok itu, dia mendapat banyak informasi mengenai cara kerja para pedagang manusia (human trafficking). Aktivisme semacam itu kerap dilakukan Auw Tjoei Lan, yang lebih dikenal sebagai Nyonya Lie Tjian Tjoen. Dia lahir pada 17 Februari 1889 di Majalengka. Ayahnya, Auw Seng Hoe, adalah seorang pengusaha sekaligus Kapitan Tionghoa, yang memiliki kebun tebu dan pabrik gula. Kapitan Auw peduli kemanusiaan. Dia melakukan sejumlah kegiatan amal; menolong para gelandangan, tunanetra, dan tunawisma dengan menyediakan makanan dan tempat tinggal.

Jiwa filantropi ayahnya menurun pada diri Auw Tjoei Lan. Auw Tjoei Lan menekuni upaya pemberantasan perdagangan perempuan setelah menikah dengan Lie Tjian Tjoen, anak Mayor Tionghoa Lie Tjoe Hong, dan pindah ke Batavia. Dia tinggal di rumah mertua yang terletak di tengah kota, di Jalan Pintu Besar. Dia tak betah, tak biasa hidup di tengah kondisi hiruk-pikuk. Tapi kekecewaan itu tak bertahan lama. Melalui perantaraan pendeta Van Walsum, dia bertemu dr Zigman, bekas gurunya yang mengajar bahasa dan kebudayaan Belanda. Zigman mengajaknya ikut mengurus Ati Soetji, organisasi bentukan dr Zigman dan beberapa kawannya seperti Van Hindeloopen dan Soetan Temanggoeng. Organisasi ini menampung perempuan-perempuan yang terpaksa melacurkan diri karena kesulitan ekonomi dan yang didatangkan dari daratan Tiongkok lalu dijual dan dipaksa jadi pelacur di rumah-rumah bordil.

Dia sangat berdedikasi. Dia tak takut keluar malam sendirian, demi menyelamatkan perempuan yang butuh pertolongan. Gadis-gadis asal Tiongkok itu rata-rata masih belia, berusia belasan tahun. Tak jarang dia menghadapi bahaya yang mengancam jiwanya. Ancaman itu terutama datang dari para batauw (mucikari), yang merasa bisnisnya terancam.

Pernah suatu ketika seorang batauw mencekiknya lantaran tak terima dengan upayanya membebaskan gadis yang akan dijadikan pelacur. Centeng, yang jadi kaki tangan batauw, pernah mengancam akan membunuhnya. Pemerasan oleh batauw pernah pula terjadi. Tapi dia tak goyah. Perdagangan perempuan sudah marak kala itu. Awalnya perempuan-perempuan itu dijual untuk dipekerjakan sebagai pembantu. Lama-lama mereka dijual untuk dijadikan pelacur.

Mereka umumnya didatangkan dari daerah-daerah di Tiongkok yang miskin, terutama dari Amoy dan Macau –dikenal dengan istilah macaopo. Jumlahnya meningkat ketika terjadi malaise pada 1930-an. Ditambah lagi Malaya memperketat perdagangan perempuan asal Tiongkok. “Hampir semua penduduk Tionghoa sudah tahu, bahwa di Batavia orang bisa pesan Macaopo atau sing-song girls, sebab saban malam mereka mondar-mandir deleman atawa auto di Pantjoran,” tulis Keng Po, 8 Mei 1939. “Dagang `madat’ lebih susah daripada `dagang daging manusia’.” Selain Ati Soetji, Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI) –sebuah organisasi hasil bentukan Kongres Perempoean Indonesia Pertama di Yogyakarta, 22-24 Desember 1928– ikut bergerak. Dalam kongresnya tahun 1932, masalah itu menjadi salah satu fokus bahasan. PPPI lalu membentuk
Perkoempoelan Pemberantasan Perdagangan Perempoean dan Anak dan mendirikan asrama perempuan sebagai tempat berlindung bagi perempuan “terlantar” dan mengembangkan kreasi perempuan. Organisasi lainnya: Madjoe-Kamoelian, Po Leung Kuk, Indo-Europeesch-Verbond Vrouwen Organisatie, dan Comite Pembrantasan Perdagangan Anak-anak. Partai-partai juga terlibat dalam upaya memberantas perdagangan manusia dan prostitusi, misalnya Sarekat Islam. “Isu tentang trafficking in women and children merupakan entry point bagi gerakan perempuan dalam melawan kolonialisme,” tulis Saskia Eleonora Wierengga dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Pada Februari 1937, Liga Bangsa-Bangsa, yang sudah lebih sepuluh tahun absen menggelar konferensi perdagangan perempuan, kembali membahas isu ini dalam konferensi di Bandung.

Auw Tjoei Lan hadir mewakili Indonesia. Dia bicara dengan berangkat dari pengalaman pribadinya. Dia mengusulkan agar, “perempuan-perempuan diberi pendidikan khusus, agar dapat dipekerjakan sebagai reserse perempuan,” tulis Myra. Tujuannya, “untuk memberikan rehabilitasi kepada perempuan-perempuan ini agar dapat mengubah nasibnya.” Dia juga usul, “agar pemasukkan perempuan-perempuan itu diberantas, paling tidak dikurangi.” Praktik ini sulit diberantas. Malahan setelah pendudukan Jepang atas China, jumlahnya terus meningkat. Mereka masuk ke Hindia Belanda, sekalipun ada pengawasan ketat, lantaran ada kongkalikong antara pedagang, polisi, dan pejabat imigrasi serta tak ada penindakan tegas terhadap mereka. “Pejabat imigrasi dan lain-lain instansi yang bersangkutan bekerja sama untuk memasukkan mereka, dan sebelum dipekerjakan mereka dipakai oleh pejabat-pejabat terlebih dahulu,” tulis Myra Sidharta dalam “Nyonya Lie Tjian Tjoen Seorang Perempuan Yang Peduli” yang dimuat dalam Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard.

Perjuangan Auw Tjoei Lan yang tanpa henti menarik perhatian banyak pihak. Polisi sering menggunakan jasanya. Banyak media perempuan seperti majalah Istri dan Fu Len memujinya. Bahkan pemerintah Belanda menganugerahinya bintang Ridder in de Orde van Oranje Nassau.
Kisah perjuangannya sudah meng inspirasi banyak orang .Bisakah ini juga mengilhami orang Majalengka lainya untuk terus berkarya tampa henti , semoga.

Sumber: perpusnas.co.id

Jumat, 01 April 2016

Sejarah Kecap asli Majalengka



Kecap Cap Tjian Tjun Teng
Majalengka dikenal dengan sebutan kota kecap , kecap menjadi salah satu penganan oleh oleh khas Majalengka atau mungkin  satu satunya? Orang Majalengka sendiri  tidak tahu persis oleh oleh  lainnya, yang khas dari majalengka , tidak seperti semisal cianjur dengan tauco atau sumedang dengan tahu nya . Biasanya dikatakan  suatu barang  menjadi ciri khas suatu daerah  jika di daerah tersebut memproduksi barang oleh sebagian besar warga daerah itu.
Kecap adalah bumbu dapur atau penyedap makanan yang berwarna hitam dengan rasa manis ataupun asin dengan berbahan dasar kedelai, garam dan gula.  kecap manis lebih kental  sementara kecap asin lebih cair dengan bahan kedelai dengan komposisi garam yang lebih banyak. Disini tidak akan membahas lebih dalam cara pembuatanya tapi sekedar diketahui bahan dasar pembuatan kecap yang mungkin bisa dijadikan alat penelusuran sejarah keberadaan kecap di Majalengka.
 Membahas sejarah keberadaan kecap di Majalengka, tidak lepas dari sejarah kecap itu sendiri, Sejak kapan kecap masuk Indonesia? Tidak ada yang secara pasti menyebutkan, tetapi sejarah mencatat bahwa kecap asin sudah menjadi komoditi perdagangan VOC tahun 1737.  Ada catatan VOC mengirimkan 75 tong besar berisi kecap asin dari Dejima, Jepang ke Batavia. Namun dipercaya kecap sudah masuk ke Indonesia jauh sebelum orang VOC membawanya ke Indonesia oleh orang orang imigran dari Tiongkok, seperti kebiasaan yang melekat pada orang Asia pada umumnya kemana mana mereka pergi , biasanya membawa berbagai kelengkapan terutama urusan perut dan mulut untuk memupus kerinduan cita rasa tempat asal ataupun mengatasi jika makanan yang ditemui tidak sesuai  selera. Begitulah akhirnya sauce atau kecap mereka bawa ke Indonesia.  Cairan hitam bercitarasa asin dengan cepat diterima oleh penduduk setempat , namun ada pula yang merasa tidak cocok dengan citarasanya,  waktu berjalan meskipun kecap yang dibawa bertong -tong akhirnya habis juga. Dengan  melihat potensi yang ada di nusantara dengan bahan dasar yang melimpah dengan kekayaan rempah rempah yang dimiliki nusantara, para imigran berusaha mencoba  membuat dan mengenalkan teknik pemeraman kecap   kepada penduduk setempat. Dasarnya orang Asia kreatif ,utak atik resep asli dari Tiongkok  dilakukan bersama- sama oleh para imigran dan penduduk setempat yang tidak cocok dengan rasa asli kecap asin. Penambahan berbagai jenis rempah dan gula merah menghasilkan “ciptaan’ baru yang bercitarasa unik yang berbeda dengan aslinya. Citarasa gurih manis dari temuan baru segera melesat ketenarannya di  nusantara.   “ Flashback “ Kembali ke sejarahnya pada abad 2 SM , sejarah yang sangat panjang “Cairan ini” yang menemani kehidupan manusia.  Diawali di Tiongkok dengan tujuan utama bukan sebagai penyedap makanan , tapi menjadi pengganti garam supaya lebih hemat karena garam pada saat itu menjadi sangat berharga mungkin setara dengan emas saat ini. Garam menjadi alat tukar pembayaran dalam perdagangan saat itu.
Sekarang pertanyaan selanjutnya, kapan kecap masuk ke Majalengka ? , kalau melihat secara umum kedatangan orang tiongkok lah yang membawa “cairan hitam” ke nusantara begitu pula ke Majalengka . Orang Tiongkok masuk ke Majalengka masuk melalui jalur Cirebon. Kedatangan mereka itu sesuai dengan kebijakan pemerintah Kolonial yang memberikan kesempatan kepada orang Tiongkok menjadi agen  dalam bidang perdagangan di Majalengka. Pada tahun 1847 berdasarkan data dari Tijdschrift Nederland – indie(TNI) Negende Jaaragang.Tweete deel ( “Susah sekali nulisnya maaf bila salah, maklumlah”) jumlah penduduk Tiongkok di distrik Majalengka  ‘hanya ada’ 221 orang terdiri dari  65 orang laki- laki , 67 orang perempuan dan 86 orang anak-anak . Pada tahun tersebut Majalengka hanya terdiri dari empat Distrik  yaitu Distrik Majalengka, Distrik Maja, Distrik Talaga dan Distrik Rajagaluh.  Pada perkembangannya tahun 1870 Distrik Majalengka sudah  menjadi Distrik yang terpadat. Hal ini karena Majalengka sudah menjadi ibukota kabupaten Majalengka  dibandingkan dengan daerah yang lain fasilitas sarana prasarana komunikasi hiburan dan lainnya  lebih lengkap.
Periode Liberal yang diterapkan oleh pemerintah kolonial ini menjadi tonggak bagi perkembangan moderenisasi di Hindia Belanda, Khususnya dalam pengelolaan tanaman budidaya. Moderennisasi Pengelolaan tanaman budidaya   mulai terlihat dengan digantikannya sistim cocok tanam tradisional yang ditandai  oleh berdirinya pabrik pabrik pengolahan hasil produksi tanaman budi daya tersebut.
Tanaman perkebunan yang ada dan berkembang di Majalengka adalah kopi, teh dan tebu.  Pada tahun 1876 didirikan pabrik gula kadipaten dalam perseroan terbatas dengan sebutan ‘Suiker Fabrick” dan Pada tahun 1896 mengalami perluasan  dan perombakan pabrik oleh orang Belanda dan perancis. Sekilas kita membicarakan “Sejarah pabrik gula Kadipaten (“lain waktu dibahas lebih detail”) karena ini sangat erat dengan gula sebagai salah satu komponen  bahan pembuatan Kecap .
Selain gula adanya Komponen  lainnya yang mungkin ini menjadi inti dari pembuatan kecap dalam proses permentasian kecap yaitu “Uyah” (Garam) . Pada masa penjajahan Belanda ada monopoli garam oleh pihak kolonial di Majalengka, ada beberapa tempat penyimpanan garam di Majalengka salah satunya adalah di samping lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan Majalengka (Jalan KH. Abdul Halim) sekarang yang di kenal masyarakat sebagai gudang “Uyah”. Berdasarkan data Kolonial Verslag van 1892  produksi garam di distrik Majalengka pada tahun 1889 -1890  dari pabrik itu menghasilkan garam sudah mengalami peningkatan dari 8.827 pikul menjadi 9.474 pikul. Nama pabrik pengolahan garam yang menghasilkan tidak diketahui namanya (KV1892). Garam menjadi komoditas terpenting sejak jaman dahulu ada perang karena perebutan wilayah garam ada pula pengggunaan lempeng garam sebagai alat pembayaran yang sah atau alat tukar barang di suatu wilayah  , garam juga menyebabkan sebuah Revolusi di Prancis . sepertinya pengaruh  garam pada masa itu seperti BBM pada saat ini ! ? jadi keberadaan Gudang Uyah (“ Males nyebut Gudang garam…… pabeulit jeng ngaran roko”) di kota Majalengka sudah ada sejak 1889.
Pada tahun 1847 berdasarkan data dari Tijdschrift Nederland – indie(TNI) Negende Jaaragang.Tweete deel  tercatat adanya orang Tiongkok di Majalengka , Mungkin saja orang Tiongkok datang jauh sebelumnya tapi yang tercatat hanya tahun tersebut jadi dimasa masa inilah kecap sudah mulai masuk ke Majalengka  meskipun tidak dibuat di Majalengka, mereka membawa persediaan kecapnya  dari Cirebon. Pada awalnya mereka membuat kecap dengan bahan bahan yang mereka bawa dari luar Majalengka  untuk dikonsumsi kalangan mereka sendiri dan sedikit untuk kalangan kaum pribumi tapi  Seiiring perjalanan waktu dan keberadaan pabrik gula (1876) dan Gudang Uyah (1889) yang didirikan di Majalengka , mereka mulai memikirkan untuk membuatnya  secara masal untuk dipasarkan kepada penduduk setempat. Orang  Tiongkok dibantu kalangan penduduk pribumi memulai usaha pembuatan kecap, dari sinilah kalangan pribumi mulai mengetahui proses pembuatan kecap, dalam kurun waktu tersebut produsen kecap orang Tiongkok  ada yang sukses , ada yang tidak. Mereka  silih berganti karena  sebagian besar intinya mereka bergelut dalam usaha perdagangan dan factor keadaan politik dan keamanan saat itu sangat menentukan pula. 


Tjunteng 1 Majalengka
Adalah TJia Tjuen Teng pada tahun 1920 memulai merintis usaha pembuatan kecap dibantu saudaranya dan warga setempat dijalan Raya Barat (Jl.Kh Abdul Halim)(tetanggaan ama gedong jangkung) Majalengka , kecap yang mengusung logo “Matahari” ini  menampilkan  citarasa yang khas yang berbeda dengan kecap kecap yang ada saat itu  bahkan sampai saat ini masih menjadi ikon khasnya rasa kecap asli Majalengka. Produksi kecap cap tjunteng ini masih tetap dijalankan oleh keturunannya di daerah Ciputis kadipaten.
Sementara itu dari kalangan pribumi  muncul  H. Saad Wangsadidjaja sebagai perintis , mendirikan perusahaan kecap Cap Maja Menjangan pada tahun 1940, muncul dengan peralatan yang masih sederhana dan dengan modal yang terbatas  dengan jumlah produksi yang masih sedikit  tampa mengurangi citarasa kualitas kecap itu sendiri tampil dengan rasa kecap yang berbeda dari sebelumnya  dengan menambah rasa gula aren yang khas , yang menjadi pilihan pencinta kecap asli Majalengka.
Tjunteng 2 Kadipaten
Pada tahun 1958  tiga serangkai “H.Lukman,Endek,Aman” bersama sama merintis usaha pembuatan kecap  yang  mengusung bendera usaha “Cap SegiTiga”  dengan prosesnya masih tradisional tampa bahan pengawet dengan bahan berkualitas  kecap cap Segitiga tampil dengan tiga rasa kecap Asin, kecap rasa Manis, dan kecap rasa Manis sedang.
Selain yang disebutkan tadi diatas ada banyak lagi produsen kecap lain yang tersebar diseluruh kabupaten Majalengka dengan berbagai merk dan rasa yang khas ada kecap Kadipaten, Jatiwangi , Talaga  dan lain lain.   Produsen  - produsen kecap ini memiliki resep resep ‘rahasia’ warisan keluarga dengan berbagai komposisi rempah yang ditambahkan , sehingga masing masing pembuat kecap selalu mengaku kecapnya no 1 tidak pernah ditemukan kecap no 2 dipasaran .(kecuali mungkin obat sakit kepala” BintangToejoe”  “Puyer No16” , ada lagi yang bukan no 1? ) 
Kecap Majalengka  pernah mengalami masa jaya pada era 80’an sampai 90’an bahkan pemasaran sampai ke seluruh Indonesia.  Sampai saat ini produksi kecap dari perusaahan tadi masih tetap eksis ditengah serbuan produk kecap luar daerah yang lebih besar dan bermodal besar.  Pada prosesnya  tetap mempertahankan cara cara yang lama digunakan bertahun-tahun  untuk mempertahankan  citarasa yang khas dan unik  dari kecap asli Majalengka yang mempunyai segmen pasar tersendiri , harapannya semoga kecap asli Majalengka (masih) tetap jaya! , amin!
Dari : Berbagai Sumber