Kamis, 17 September 2015

Perusahaan Otobus di Majalengka tempo dulu



   Pada masa tahun 50an warga Majalengka pada saat hendak bepergian dari satu daerah ke daerah lain hanya mengandalkan berjalan kaki  atau  naik sepeda itu pun bagi mereka yang mampu  karena sepeda pada saat itu masih merupakan barang yang tergolong mewah, sedangkan angkutan umum lainya pada saat itu ada seperti kereta kuda , gerobak sapi dan beberapa perusahaan otobus  seperti PO.Tobros ,  Po Sindangkasih dan tahun 1960 ada PO Guntur, jangan pernah  membayangkan perusahaan bus seperti jaman sekarang dengan  armada bus yang banyak dan bagus apalagi dengan fasilitas AC dan Toilet. Seperti Po Bus Tobros demikian orangtua saya katakan ketika bercerita. Seperti bahasa sunda “Nobros” atawa “norobos” atau bus na susuruduk? atau “gancang”? Padahal yang benar “tobros” itu asal kata dari bahasa Belanda yang mungkin berarti “dua bersaudara” barangkali ada pembaca yang lebih tahu dalam bahasa Belandanya?.

   

   



   Perusahaan Bus “Tobros” dengan rute Kuningan kadipaten dimiliki oleh warga kuningan yang hanya memiliki satu armada bus itupun sudah tua dengan warna bus dominan kuning dengan polet biru,  bus Tobros berangkat dari kuningan jam 7an sampai Talaga jam 10an sampai kadipaten waktu sore. Bisa dibayangkan waktu jarak tempuh Kuningan - kadipaten yang begitu lama dengan armada bus hanya satu,  seringkali orangtua penulis juga yang berasal Talaga sewaktu bersekolah di Majalengka berjalan kaki ketika akan pulang ke Talaga atau pergi ke Majalengka karena ketinggalan bus.

Selasa, 15 September 2015

Sejarah Pabrik Genteng Jatiwangi



   Masyarakat Jatiwangi sebelum abad ke – 20 masih menganggap tabu apabila tanah yang biasanya berada dibawah, ditempatkan diatas kepala , seperti genteng. Pada waktu itu tidak ada rumah yang terbuat dari tanah , batu dan pasir. Menurut pendapat mereka benda- benda tersebut harus ada dibagian bawah, sedangkan untuk bagian atasnya boleh berupa kayu kayuan dan daun daunan. Rumah penduduk pada saat itu hanya bertiang kayu dan bambu, berdingding ayaman bambu atau  papan serta  beratapkan dari daun aren, Rumbia atau alang-alang. Rumah rumah yang bertembok pada saat itu hanyalah rumah rumah orang Belanda. Adalah H. Umar Bin Ma’ruf  pada tahun 1905 yang berkeinginan untuk memperbaiki langgarnya (surau ) dengan memakai atap genteng namun karena pada saat itu tidak ada yang bisa membuat genteng oleh karena itu beliau mendatangkan seorang ahli pembuat genteng dari pesantren Babakan Jawa,Majalengka bernama Barnawi. Kemudian H. Umar mendirikan tempat pembakaran genteng di Cikarokrok, sebelah barat Sungai Cipinang, Burujulwetan.


     Dengan berdirinya langgar H Umar yang beratapkan genteng maka tertariklah  orang – orang ‘mampu’ untuk membuat rumah beratapkan genteng. Pada waktu itu juga bermunculan para pengrajin baru genteng di distrik jatiwangi seperti H. Manan , Wiyot, H. Asy’ari dan lain lain.


    Dengan demikian masyarakat Jatiwangi pada masa itu sudah meninggalkan kepercayaan mereka yang menganggap tabu memakai genteng.    Pada saat itu perkembangan kerajinan genteng belum tampak pesat karena beberapa hal , hanya beberapa orang saja yang menjadi pengrajin genteng. Hal hal yang menjadi kendala perkembangan kerajinan genteng pada saat itu adalah proses produksi yang masih sederhana yaitu peralatan yang dipakai dalam industri genteng waktu itu adalah cangkul/singkep yang berfungsi untuk mengolah bahan baku(tanah liat) dan cetakan yang terbuat dari kayu yang dihaluskan, kemudian hal lain adalah tranportasi yang masih sederhana yaitu gerobak yang ditarik oleh kerbau.

  


Pada tahun 1930an industri kecil ini mulai mendapatkan perhatian Pemerintah kolonial Belanda dengan mengadakan pengujian terhadap kualitas genteng yang dihasilkan pengrajin untuk menghasilkan kualitas genteng terbaik bagi pembangunan kantor dan perumahan pegawai  pemerintah pada waktu itu 
@ Poto Ilustrasi 

Minggu, 13 September 2015

Sejarah Pendidikan Guru di Majalengka



       


    Pendidikan formal bagi penduduk pribumi baru berlangsung setelah Raja Belanda mengeluarkan keputusan nomor 95 tanggal 30 september 1848. Keputusan itu memberikan wewenang kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda untuk menyediakan dana sebesar 25 0000 gulden per tahun, guna pendirian sekolah Bumiputra dipulau Jawa, dengan tujuan utama mendidik calon calon pegawai negeri

    Memasuki awal abad ke – 20 pendidikan di Hindia Belanda termasuk di Majalengka ditandai dengan berkembangannya pendidikan colonial sebagai dampak pertumbuhan perkebunan. Pendirian berbagai lembaga pendidikan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dibidang administrasi, termasuk administrasi perkebunan serta tenaga ahli lainnya.

    Sekolah Desa di Majalengka mulai dibangun ketika pemerintahan Bupati RAA Aria Sastra Ningrat 1902 – 1922 akan tetapi sekolah dengan nama yang lain seperti madrasah dan sekolah pribumi sudah ada dalam keterangan Kolonial verslag tahun 1864.

Dalam almanak Belanda tahun 1920 diterangkan pekerjaan dan pangkat yang dapat dipegang atau dicapai oleh orang pribumi adalah yang mempunyai pendidikan dasar. Sekolah pada masa penjajahan Belanda itu dibagi menjadi dua macam ;


Pertama, sekolah umum yaitu yang memberikan pengetahuan untuk semua orang atau kepandaian dalam hal memenuhi keperluan sehari hari. Dengan bantuan pengetahuan itu diharapkan mereka dapat memegang semua pekerjaan yang mudah. Sekolah tersebut ada dua macam yaitu sekolah untuk bangsa pribumi dan sekolah untuk bangsa Eropa. Sekolah untuk orang Eropa bisa juga dimasuki oleh orang pribumi. Sekolah umum terdiri dari; Sekolah desa atau sekolah rakyat, Sekolah gubernemen kelas II, Hollandsch Inlandsch School(HIS) yaitu sekolah Belanda untuk pribumi, Hollands Chinesse School (HCS), Sekolah Belanda seperti DHS, KWS, Meer Uitgebreig Lager Onderwijs (MULO), Sekolah Partikulir, Hoogere Burgesschool(HBS).

 Kedua,Sekolah calon yaitu sekolah yang diterapkan, untuk satu pekerjaan saja terdiri dari Osvia sekolah untuk anak anak bangsawan untuk dijadikan pegawai pemerintah, Bestuursschool(sekolah bistir), Kweekschool Voor Inlandshe Onderwijzers (sekolah Raja), Normaalscholen voor Inlandsche onderwijzers (sekolah Normal) dan lain lain.
Kondisi pendidikan di Majalengka kurang begitu baik dibandingkan dengan daerah lain hal ini disebabkan kurang prasarana sekolah. Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi , penduduk Majalengka sering dihadapkan pada beberapa hambatan diantaranya politik Belanda yang mengadakan diskriminasi di bidang pendidikan. Perbedaan ras dan dan warna kulit(orang Eropa, Cina dan Pribumi). Pelayanan terhadap penduduk majalengka pun demikian. Seperti perbedaan anak anak dari golongan rakyat jelata  dengan anak anak pejabat seperti Bupati, wedana dan lain lain mereka bisa bersekolah di sekolah Belanda seperti HIS. untuknya mereka dapat melanjutkan ke MULO di Bandung yang lama pendidikannya selama tiga tahun.
      Untuk bisa bersekolah di HIS tidaklah mudah untuk kalangan rakyat biasa karena butuh biaya pendidikan sangat mahal untuk ukuran ekonomi saat itu . Biaya sekolah di HIS sebesar tiga dacin beras (tiga dacin sama dengan tiga kuintal beras cianjur yang paling bagus) jika dibayarkan dengan uang sebesar dua perak setengah, dua perak lima ketip. Kecerdasan juga ikut menentukan karena jika si anak tidak bisa mengikuti pelajaran maka bisa dikeluarkan dari sekolah.


     Sesudah Indonesia merdeka dibekas gedung HIS Pada  tahun 1950an  di Majalengka berdiri Sekolah Guru bagian B atau disingkat SGB.  Sekolah Guru ini memberlakukan sistim ikatan dinas dengan setiap bulannya menerima gaji 125 rupiah ,cukup untuk hidup satu bulan karena pada waktu itu membeli pakaian lengkap ;sarung, koko dan kopiah pun hanya  seharga “satalen” atau 25 sen, bisa dibayangkan  gaji yang didapatkan untuk memenuhi  tuntutan hidup dijaman sekarang? Gaji pertama guru pada saat itu pun tidak jauh berbeda dengan murid SGB yaitu 148 Rupiah per bulan.



Selain menerima gaji murid SGB juga disediakan asrama. Ada beberapa tempat asrama yang ada yaitu di samping rumah Wedana Majalengka Wiraatmadja kalau sekarang Di jalan Sukarame atau Letkol. Abdul Gani, asrama lainnnya di jalan Kh. Abdul Halim sekarang menjadi gedung  Graha Sindangkasih.



      Setelah lulus dari Sekolah Guru Bagian B  bisa langsung bertugas menjadi guru SD . Hanya Lulusan terbaik yang berhak mengikuti testing untuk melanjutkan pendidikan  di Sekolah Guru Bagian A disingkat SGA yang pada saat itu hanya ada di Bandung dan Bogor. Lulusan SGA diperuntukan mengajar ditingkat SLTP

Seiring perkembangan zaman untuk dituntut lebih meningkatkan kemampuan mengajar para guru maka tahun 60an SGB ditingkatkan Menjadi SGA dan selanjutnya menjadi Sekolah Pendidikan Guru atau disingkat SPG  hal ini setara dengan SGA. Dan pada tahun 70an para guru lulusan SGB untuk meningkatkan kemampuan mengajar  maka diadakan Kursus Pendidikan Guru atau KPG yang bertempat  digedung SPG atau gedung  SMA 2 Madjalengka sekarang. Sampai saat ini gedung ini masih berdiri dan terawat , ikut andil dalam perkembangan sejarah kota Majalengka (dari berbagai sumber ; dan cerita kedua orangtua penulis sebagai lulusan angkatan pertama dan kedua dari SGB)