Kamis, 14 April 2016

Kisah kartini Batavia asal Majalengka


Beliau lahir pada 17 Februari 1889 di Majalengka. Ayahnya, Auw Seng Hoe, adalah seorang pengusaha sekaligus Kapitan Tionghoa, yang memiliki kebun tebu dan pabrik gula. Kapitan Auw peduli kemanusiaan. Dia melakukan sejumlah kegiatan amal; menolong para gelandangan, tunanetra, dan tunawisma dengan menyediakan makanan dan tempat tinggal. Beruntung lahir dan besar dari orangtua yang berpikiran maju. Auw Tjoei Lan kecil tak dipingit seperti kebanyakan anak perempuan masa itu. Di rumah, dia dan saudara-saudaranya mendapat pendidikan Belanda dari seorang guru privat yang didatangkan dari Batavia. Ketika remaja, dia memperdalam pendidikan di Bogor dan tinggal di rumah keluarga seorang pendeta. Selepas dari Bogor, dia kembali ke Majalengka dan menjalankan kegiatan amal ayahnya. Dan ketika menikah, dia memiliki panti asuhan sendiri.
Suatu malam di Batavia pada 1930-an. Seorang perempuan Tionghoa, yang sebelumnya mendapat surat kaleng, bergegas menuju sebuah hotel di Kota. Tujuannya: mencari si pengirim surat, seorang perempuan tanpa identitas yang butuh pertolongan segera. Tiba di hotel, dia menemukan sebuah tong yang bergoyang. Dia buka. Isinya seorang gadis berusia sekira 14 tahun; si pengirim surat. Gadis itu baru datang dari Tiongkok, tak mengerti bahasa Melayu, dan akan dijadikan pelacur. Dia langsung menolongnya, membawa gadis malang itu ke panti asuhannya.

Dari gadis Tiongkok itu, dia mendapat banyak informasi mengenai cara kerja para pedagang manusia (human trafficking). Aktivisme semacam itu kerap dilakukan Auw Tjoei Lan, yang lebih dikenal sebagai Nyonya Lie Tjian Tjoen. Dia lahir pada 17 Februari 1889 di Majalengka. Ayahnya, Auw Seng Hoe, adalah seorang pengusaha sekaligus Kapitan Tionghoa, yang memiliki kebun tebu dan pabrik gula. Kapitan Auw peduli kemanusiaan. Dia melakukan sejumlah kegiatan amal; menolong para gelandangan, tunanetra, dan tunawisma dengan menyediakan makanan dan tempat tinggal.

Jiwa filantropi ayahnya menurun pada diri Auw Tjoei Lan. Auw Tjoei Lan menekuni upaya pemberantasan perdagangan perempuan setelah menikah dengan Lie Tjian Tjoen, anak Mayor Tionghoa Lie Tjoe Hong, dan pindah ke Batavia. Dia tinggal di rumah mertua yang terletak di tengah kota, di Jalan Pintu Besar. Dia tak betah, tak biasa hidup di tengah kondisi hiruk-pikuk. Tapi kekecewaan itu tak bertahan lama. Melalui perantaraan pendeta Van Walsum, dia bertemu dr Zigman, bekas gurunya yang mengajar bahasa dan kebudayaan Belanda. Zigman mengajaknya ikut mengurus Ati Soetji, organisasi bentukan dr Zigman dan beberapa kawannya seperti Van Hindeloopen dan Soetan Temanggoeng. Organisasi ini menampung perempuan-perempuan yang terpaksa melacurkan diri karena kesulitan ekonomi dan yang didatangkan dari daratan Tiongkok lalu dijual dan dipaksa jadi pelacur di rumah-rumah bordil.

Dia sangat berdedikasi. Dia tak takut keluar malam sendirian, demi menyelamatkan perempuan yang butuh pertolongan. Gadis-gadis asal Tiongkok itu rata-rata masih belia, berusia belasan tahun. Tak jarang dia menghadapi bahaya yang mengancam jiwanya. Ancaman itu terutama datang dari para batauw (mucikari), yang merasa bisnisnya terancam.

Pernah suatu ketika seorang batauw mencekiknya lantaran tak terima dengan upayanya membebaskan gadis yang akan dijadikan pelacur. Centeng, yang jadi kaki tangan batauw, pernah mengancam akan membunuhnya. Pemerasan oleh batauw pernah pula terjadi. Tapi dia tak goyah. Perdagangan perempuan sudah marak kala itu. Awalnya perempuan-perempuan itu dijual untuk dipekerjakan sebagai pembantu. Lama-lama mereka dijual untuk dijadikan pelacur.

Mereka umumnya didatangkan dari daerah-daerah di Tiongkok yang miskin, terutama dari Amoy dan Macau –dikenal dengan istilah macaopo. Jumlahnya meningkat ketika terjadi malaise pada 1930-an. Ditambah lagi Malaya memperketat perdagangan perempuan asal Tiongkok. “Hampir semua penduduk Tionghoa sudah tahu, bahwa di Batavia orang bisa pesan Macaopo atau sing-song girls, sebab saban malam mereka mondar-mandir deleman atawa auto di Pantjoran,” tulis Keng Po, 8 Mei 1939. “Dagang `madat’ lebih susah daripada `dagang daging manusia’.” Selain Ati Soetji, Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI) –sebuah organisasi hasil bentukan Kongres Perempoean Indonesia Pertama di Yogyakarta, 22-24 Desember 1928– ikut bergerak. Dalam kongresnya tahun 1932, masalah itu menjadi salah satu fokus bahasan. PPPI lalu membentuk
Perkoempoelan Pemberantasan Perdagangan Perempoean dan Anak dan mendirikan asrama perempuan sebagai tempat berlindung bagi perempuan “terlantar” dan mengembangkan kreasi perempuan. Organisasi lainnya: Madjoe-Kamoelian, Po Leung Kuk, Indo-Europeesch-Verbond Vrouwen Organisatie, dan Comite Pembrantasan Perdagangan Anak-anak. Partai-partai juga terlibat dalam upaya memberantas perdagangan manusia dan prostitusi, misalnya Sarekat Islam. “Isu tentang trafficking in women and children merupakan entry point bagi gerakan perempuan dalam melawan kolonialisme,” tulis Saskia Eleonora Wierengga dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Pada Februari 1937, Liga Bangsa-Bangsa, yang sudah lebih sepuluh tahun absen menggelar konferensi perdagangan perempuan, kembali membahas isu ini dalam konferensi di Bandung.

Auw Tjoei Lan hadir mewakili Indonesia. Dia bicara dengan berangkat dari pengalaman pribadinya. Dia mengusulkan agar, “perempuan-perempuan diberi pendidikan khusus, agar dapat dipekerjakan sebagai reserse perempuan,” tulis Myra. Tujuannya, “untuk memberikan rehabilitasi kepada perempuan-perempuan ini agar dapat mengubah nasibnya.” Dia juga usul, “agar pemasukkan perempuan-perempuan itu diberantas, paling tidak dikurangi.” Praktik ini sulit diberantas. Malahan setelah pendudukan Jepang atas China, jumlahnya terus meningkat. Mereka masuk ke Hindia Belanda, sekalipun ada pengawasan ketat, lantaran ada kongkalikong antara pedagang, polisi, dan pejabat imigrasi serta tak ada penindakan tegas terhadap mereka. “Pejabat imigrasi dan lain-lain instansi yang bersangkutan bekerja sama untuk memasukkan mereka, dan sebelum dipekerjakan mereka dipakai oleh pejabat-pejabat terlebih dahulu,” tulis Myra Sidharta dalam “Nyonya Lie Tjian Tjoen Seorang Perempuan Yang Peduli” yang dimuat dalam Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard.

Perjuangan Auw Tjoei Lan yang tanpa henti menarik perhatian banyak pihak. Polisi sering menggunakan jasanya. Banyak media perempuan seperti majalah Istri dan Fu Len memujinya. Bahkan pemerintah Belanda menganugerahinya bintang Ridder in de Orde van Oranje Nassau.
Kisah perjuangannya sudah meng inspirasi banyak orang .Bisakah ini juga mengilhami orang Majalengka lainya untuk terus berkarya tampa henti , semoga.

Sumber: perpusnas.co.id

Jumat, 01 April 2016

Sejarah Kecap asli Majalengka



Kecap Cap Tjian Tjun Teng
Majalengka dikenal dengan sebutan kota kecap , kecap menjadi salah satu penganan oleh oleh khas Majalengka atau mungkin  satu satunya? Orang Majalengka sendiri  tidak tahu persis oleh oleh  lainnya, yang khas dari majalengka , tidak seperti semisal cianjur dengan tauco atau sumedang dengan tahu nya . Biasanya dikatakan  suatu barang  menjadi ciri khas suatu daerah  jika di daerah tersebut memproduksi barang oleh sebagian besar warga daerah itu.
Kecap adalah bumbu dapur atau penyedap makanan yang berwarna hitam dengan rasa manis ataupun asin dengan berbahan dasar kedelai, garam dan gula.  kecap manis lebih kental  sementara kecap asin lebih cair dengan bahan kedelai dengan komposisi garam yang lebih banyak. Disini tidak akan membahas lebih dalam cara pembuatanya tapi sekedar diketahui bahan dasar pembuatan kecap yang mungkin bisa dijadikan alat penelusuran sejarah keberadaan kecap di Majalengka.
 Membahas sejarah keberadaan kecap di Majalengka, tidak lepas dari sejarah kecap itu sendiri, Sejak kapan kecap masuk Indonesia? Tidak ada yang secara pasti menyebutkan, tetapi sejarah mencatat bahwa kecap asin sudah menjadi komoditi perdagangan VOC tahun 1737.  Ada catatan VOC mengirimkan 75 tong besar berisi kecap asin dari Dejima, Jepang ke Batavia. Namun dipercaya kecap sudah masuk ke Indonesia jauh sebelum orang VOC membawanya ke Indonesia oleh orang orang imigran dari Tiongkok, seperti kebiasaan yang melekat pada orang Asia pada umumnya kemana mana mereka pergi , biasanya membawa berbagai kelengkapan terutama urusan perut dan mulut untuk memupus kerinduan cita rasa tempat asal ataupun mengatasi jika makanan yang ditemui tidak sesuai  selera. Begitulah akhirnya sauce atau kecap mereka bawa ke Indonesia.  Cairan hitam bercitarasa asin dengan cepat diterima oleh penduduk setempat , namun ada pula yang merasa tidak cocok dengan citarasanya,  waktu berjalan meskipun kecap yang dibawa bertong -tong akhirnya habis juga. Dengan  melihat potensi yang ada di nusantara dengan bahan dasar yang melimpah dengan kekayaan rempah rempah yang dimiliki nusantara, para imigran berusaha mencoba  membuat dan mengenalkan teknik pemeraman kecap   kepada penduduk setempat. Dasarnya orang Asia kreatif ,utak atik resep asli dari Tiongkok  dilakukan bersama- sama oleh para imigran dan penduduk setempat yang tidak cocok dengan rasa asli kecap asin. Penambahan berbagai jenis rempah dan gula merah menghasilkan “ciptaan’ baru yang bercitarasa unik yang berbeda dengan aslinya. Citarasa gurih manis dari temuan baru segera melesat ketenarannya di  nusantara.   “ Flashback “ Kembali ke sejarahnya pada abad 2 SM , sejarah yang sangat panjang “Cairan ini” yang menemani kehidupan manusia.  Diawali di Tiongkok dengan tujuan utama bukan sebagai penyedap makanan , tapi menjadi pengganti garam supaya lebih hemat karena garam pada saat itu menjadi sangat berharga mungkin setara dengan emas saat ini. Garam menjadi alat tukar pembayaran dalam perdagangan saat itu.
Sekarang pertanyaan selanjutnya, kapan kecap masuk ke Majalengka ? , kalau melihat secara umum kedatangan orang tiongkok lah yang membawa “cairan hitam” ke nusantara begitu pula ke Majalengka . Orang Tiongkok masuk ke Majalengka masuk melalui jalur Cirebon. Kedatangan mereka itu sesuai dengan kebijakan pemerintah Kolonial yang memberikan kesempatan kepada orang Tiongkok menjadi agen  dalam bidang perdagangan di Majalengka. Pada tahun 1847 berdasarkan data dari Tijdschrift Nederland – indie(TNI) Negende Jaaragang.Tweete deel ( “Susah sekali nulisnya maaf bila salah, maklumlah”) jumlah penduduk Tiongkok di distrik Majalengka  ‘hanya ada’ 221 orang terdiri dari  65 orang laki- laki , 67 orang perempuan dan 86 orang anak-anak . Pada tahun tersebut Majalengka hanya terdiri dari empat Distrik  yaitu Distrik Majalengka, Distrik Maja, Distrik Talaga dan Distrik Rajagaluh.  Pada perkembangannya tahun 1870 Distrik Majalengka sudah  menjadi Distrik yang terpadat. Hal ini karena Majalengka sudah menjadi ibukota kabupaten Majalengka  dibandingkan dengan daerah yang lain fasilitas sarana prasarana komunikasi hiburan dan lainnya  lebih lengkap.
Periode Liberal yang diterapkan oleh pemerintah kolonial ini menjadi tonggak bagi perkembangan moderenisasi di Hindia Belanda, Khususnya dalam pengelolaan tanaman budidaya. Moderennisasi Pengelolaan tanaman budidaya   mulai terlihat dengan digantikannya sistim cocok tanam tradisional yang ditandai  oleh berdirinya pabrik pabrik pengolahan hasil produksi tanaman budi daya tersebut.
Tanaman perkebunan yang ada dan berkembang di Majalengka adalah kopi, teh dan tebu.  Pada tahun 1876 didirikan pabrik gula kadipaten dalam perseroan terbatas dengan sebutan ‘Suiker Fabrick” dan Pada tahun 1896 mengalami perluasan  dan perombakan pabrik oleh orang Belanda dan perancis. Sekilas kita membicarakan “Sejarah pabrik gula Kadipaten (“lain waktu dibahas lebih detail”) karena ini sangat erat dengan gula sebagai salah satu komponen  bahan pembuatan Kecap .
Selain gula adanya Komponen  lainnya yang mungkin ini menjadi inti dari pembuatan kecap dalam proses permentasian kecap yaitu “Uyah” (Garam) . Pada masa penjajahan Belanda ada monopoli garam oleh pihak kolonial di Majalengka, ada beberapa tempat penyimpanan garam di Majalengka salah satunya adalah di samping lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan Majalengka (Jalan KH. Abdul Halim) sekarang yang di kenal masyarakat sebagai gudang “Uyah”. Berdasarkan data Kolonial Verslag van 1892  produksi garam di distrik Majalengka pada tahun 1889 -1890  dari pabrik itu menghasilkan garam sudah mengalami peningkatan dari 8.827 pikul menjadi 9.474 pikul. Nama pabrik pengolahan garam yang menghasilkan tidak diketahui namanya (KV1892). Garam menjadi komoditas terpenting sejak jaman dahulu ada perang karena perebutan wilayah garam ada pula pengggunaan lempeng garam sebagai alat pembayaran yang sah atau alat tukar barang di suatu wilayah  , garam juga menyebabkan sebuah Revolusi di Prancis . sepertinya pengaruh  garam pada masa itu seperti BBM pada saat ini ! ? jadi keberadaan Gudang Uyah (“ Males nyebut Gudang garam…… pabeulit jeng ngaran roko”) di kota Majalengka sudah ada sejak 1889.
Pada tahun 1847 berdasarkan data dari Tijdschrift Nederland – indie(TNI) Negende Jaaragang.Tweete deel  tercatat adanya orang Tiongkok di Majalengka , Mungkin saja orang Tiongkok datang jauh sebelumnya tapi yang tercatat hanya tahun tersebut jadi dimasa masa inilah kecap sudah mulai masuk ke Majalengka  meskipun tidak dibuat di Majalengka, mereka membawa persediaan kecapnya  dari Cirebon. Pada awalnya mereka membuat kecap dengan bahan bahan yang mereka bawa dari luar Majalengka  untuk dikonsumsi kalangan mereka sendiri dan sedikit untuk kalangan kaum pribumi tapi  Seiiring perjalanan waktu dan keberadaan pabrik gula (1876) dan Gudang Uyah (1889) yang didirikan di Majalengka , mereka mulai memikirkan untuk membuatnya  secara masal untuk dipasarkan kepada penduduk setempat. Orang  Tiongkok dibantu kalangan penduduk pribumi memulai usaha pembuatan kecap, dari sinilah kalangan pribumi mulai mengetahui proses pembuatan kecap, dalam kurun waktu tersebut produsen kecap orang Tiongkok  ada yang sukses , ada yang tidak. Mereka  silih berganti karena  sebagian besar intinya mereka bergelut dalam usaha perdagangan dan factor keadaan politik dan keamanan saat itu sangat menentukan pula. 


Tjunteng 1 Majalengka
Adalah TJia Tjuen Teng pada tahun 1920 memulai merintis usaha pembuatan kecap dibantu saudaranya dan warga setempat dijalan Raya Barat (Jl.Kh Abdul Halim)(tetanggaan ama gedong jangkung) Majalengka , kecap yang mengusung logo “Matahari” ini  menampilkan  citarasa yang khas yang berbeda dengan kecap kecap yang ada saat itu  bahkan sampai saat ini masih menjadi ikon khasnya rasa kecap asli Majalengka. Produksi kecap cap tjunteng ini masih tetap dijalankan oleh keturunannya di daerah Ciputis kadipaten.
Sementara itu dari kalangan pribumi  muncul  H. Saad Wangsadidjaja sebagai perintis , mendirikan perusahaan kecap Cap Maja Menjangan pada tahun 1940, muncul dengan peralatan yang masih sederhana dan dengan modal yang terbatas  dengan jumlah produksi yang masih sedikit  tampa mengurangi citarasa kualitas kecap itu sendiri tampil dengan rasa kecap yang berbeda dari sebelumnya  dengan menambah rasa gula aren yang khas , yang menjadi pilihan pencinta kecap asli Majalengka.
Tjunteng 2 Kadipaten
Pada tahun 1958  tiga serangkai “H.Lukman,Endek,Aman” bersama sama merintis usaha pembuatan kecap  yang  mengusung bendera usaha “Cap SegiTiga”  dengan prosesnya masih tradisional tampa bahan pengawet dengan bahan berkualitas  kecap cap Segitiga tampil dengan tiga rasa kecap Asin, kecap rasa Manis, dan kecap rasa Manis sedang.
Selain yang disebutkan tadi diatas ada banyak lagi produsen kecap lain yang tersebar diseluruh kabupaten Majalengka dengan berbagai merk dan rasa yang khas ada kecap Kadipaten, Jatiwangi , Talaga  dan lain lain.   Produsen  - produsen kecap ini memiliki resep resep ‘rahasia’ warisan keluarga dengan berbagai komposisi rempah yang ditambahkan , sehingga masing masing pembuat kecap selalu mengaku kecapnya no 1 tidak pernah ditemukan kecap no 2 dipasaran .(kecuali mungkin obat sakit kepala” BintangToejoe”  “Puyer No16” , ada lagi yang bukan no 1? ) 
Kecap Majalengka  pernah mengalami masa jaya pada era 80’an sampai 90’an bahkan pemasaran sampai ke seluruh Indonesia.  Sampai saat ini produksi kecap dari perusaahan tadi masih tetap eksis ditengah serbuan produk kecap luar daerah yang lebih besar dan bermodal besar.  Pada prosesnya  tetap mempertahankan cara cara yang lama digunakan bertahun-tahun  untuk mempertahankan  citarasa yang khas dan unik  dari kecap asli Majalengka yang mempunyai segmen pasar tersendiri , harapannya semoga kecap asli Majalengka (masih) tetap jaya! , amin!
Dari : Berbagai Sumber

Selasa, 22 Maret 2016

Cerita "Baheula" (mengenang kepergianya)



Melacak mundur menyusuri lorong waktu masih teringat  cerita "baheula" yang selalu dikisahkan ibuku di waktu kecil. Kisah beliau diwaktu masa pendudukan Belanda ataupun pendudukan Jepang selalu menemaniku disaat menjelang tidur malam, apalagi dulu sering mati listrik. Dari mati listrik inilah kisah ini dimulai,  menurutnya jaman dulu belum ada listrik , saat malam tiba semua gelap gulita hanya ditemani nyala “cempor” kecuali saat tiba bulan purnama ibuku dan teman temannya menyambutnya dengan penuh suka cita bermain main sepuasnya disaat terang bulan, permainanan tradisional yang mereka mainkan seperti ; “cing sumput”, door doran, sep dur, udag udagan, dadaluan, englek dan banyak lagi. Saat itu kehidupan masih keadaan  normal sampai saat tentara jepang datang semuanya jadi tidak merasa aman penuh dengan ketakutan , tatanan kehidupan menjadi kacau. Saat Tentara jepang datang pertamakali menginjak kakinya di Majalengka, mereka disambut gembira oleh masyarakat Majalengka karena mereka dianggap “sodara Tua” yang akan membebaskan dari cengkraman penjajah Belanda. Seiring waktu  niat busuk  mereka datang, akhirnya terbongkar juga bahkan perilaku tentara Jepang lebih kejam dari tentara Belanda. Banyak anak anak gadis menjadi korban tentara jepang, pemuda pemuda banyak yang  menjadi budak budak pekerja, sementara persedian bahan makanan seperti beras, jagung ubi umbian dan lain lain mereka angkut keluar daerah pada saat malam hari. Saat malam hari ini pada jaman jepang diberlakukan jam malam , rakyat tidak boleh keluar malam kalau tidak ingin kena tembak tentara Jepang, padahal menurut ibuku saat jam malam inilah tentara jepang mengangkut bahan makannan yang tersimpan di gudang desa (dulu balai Desa Majalengka kulon terletak depan mesjid agung atau samping Sekolah rakyat atau bertetangga dengan rumah kakekku) jepang memerintahkan seluruh masyarakat Majalengka kulon menyetorkan sebagian bahan makanan digudang desa untuk membantu ”sodara tua”, banyak terjadi kelaparan dimana mana bahkan batang pisang “gedebong cau “dijadikan bahan penganan, nasi campur jagung ataupun dedakpun jadi, bahan pakaianpun sulit didapat walaupun ada berbahan pakain seperti karet yang terasa panas dan gatal dikulit, kalau kata ibuku disebut  “baju kadut” entah apa maksudnya belum sempat bertanya? Ada yang tahu?. Tiga setengah  tahun sudah Jepang berkuasa tiba saatnya Jepang mengalami kekalahan perang Asia Timur raya dari tentara sekutu akhirnya Jepang angkat kaki  dari bumi Majalengka meninggalkan kekacauan, ketakutan dan kesengsaraan rakyat Majalengka.
Setelah Jepang meninggalkan Indonesia , Indonesia mengalami masa revolusi dimana setelah Indonesia mengumumkan kemerdekaanya lewat Bapak Soekarno Hatta penjajah Belanda berusaha untuk kembali menjajah dengan membonceng tentara sekutu yang berdalih untuk melucuti tentara Jepang. Tapi hal ini mendapat perlawanan dari seluruh rakyat Indonesia umumnya dan rakyat di majalengka pada khususnya.

 

Tentara Belanda membagi bagikan makanan di satu daerah
Tentara Belanda Membagikan Makanan

Pertamakali Tentara NICA sebutan untuk tentara Belanda datang ke Majalengka,di alun alun majalengka menurut ibuku , Tentara Nica datang membagi bagikan bahan makanan seperti roti – roti yang besar, keju , mentega ,kornet,sarden dan kue kaleng lainnya produksi Belanda , mereka berusaha menarik simpati hati rakyat majalengka. Sementara para pejuang menyingkir kegunung atau bukit bukit seputar Majalengka,  baru setelah malam tiba para pejuang turun gunung menyerbu ke kota Majalengka.  di tempat tinggal ibuku,  yang berada di seputaran alun alun majalengka ,seringkali terjadi kontak senjata, suara dentuman meriam , mortir atau suara desingan peluru sudah tidak asing lagi didengar, bahkan pernah beberapa kali melihat peluru mortir jatuh dari langit ke belakang pendopo kabupaten majalengka(rumah kakek;berdampingan/dekat pendopo) tapi untungnya mortir  atau bom itu tidak meledak! entah apa jadinya kalau terjadi mungkin tulisan inipun  tidak pernah ada?! Menurut ibuku didalam rumah yang berlantai masih tanah  ada tempat lobang perlindungan ukuran setengan meter ke dua meter dengan kedalaman setengah meter, yang berfungsi melindungi ibu dan anggota keluarga lainnya dari kontak senjata antara pejuang dan tentara Belanda mungkin semacam bungker. Saat malam tiba dalam keadaan gelap gulita tidak boleh ada cahaya apapun karena bisa berbahaya untuk keselamatan,  ibuku dan anggota keluarganya bersiap siap masuk kelobang itu untuk berlindung. Adakalanya disaat genting dan berbahaya keluarga ibu pergi ke gunung tilu untuk evakuasi  karenanya jaman itu disebut juga “jaman pakoasi” . keadaaan genting dan berbahaya jikalau ada serangan besar besaran dari tentara penjuang atau tentara Belanda. Adakalanya mendapat informasi dari penjuang yang kenal dekat atau masih bersaudara dengan keluarga ibu  ataupun dari serdadu Belanda itu sendiri, saat itu nenekku berdagang kue dan selain itu kakekku berkebun juga membuka usaha binatu yaitu mencuci dan nyetrika pakaian serdadu Belanda, ibu kecil sering melihat serdadu Belanda hilir mudik dipekarangan rumah, atau masuk rumah. Baik membawa mobil jeep atau “kelir” datang dan pergi mengambil pakaian tentara yang sudah atau belum dicuci. Ada cerita, Satu kali ada saudara ibu yang yang jadi pejuang datang berkunjung sementara serdadu belanda datang mengambil pakaian keteganganpun terjadi, untungnya disiang hari mereka tidak saling mengenal meskipun malam harinya mereka berperang kontak senjata.  sekian dulu ,cerita "baheula" ini saya tulis untuk mengenang ibu yang sudah ada bersamaNya ,semoga dilapangkan dan diterangkan kuburnya amin, Wassalam.




catatan ; dirumah kecil  yang beralaskan tanah ada tempat berlindung semacam bungker, masih percaya kalau ditempat kediaman para panggede tempo dulu semacam rumah Assisten Residen dan rumah dinas Bupati tempoe doeloe tidak mempunyai tempat berlindung atau bungker ? coba saja!!!  

 

Jumat, 11 Maret 2016

Poto Majalengka DoeloeSekarang


















                                                                            

Kamis, 10 Maret 2016

Sejarah Mesjid Agung Al Imam Majalengka



Dahulu Mesjid Al Imam sebelum menjadi mesjid Agung kabupaten Majalengka adalah sebuah mesjid kecil, Pada awalnya sekitar tahun 1884 mesjid ini  hanyalah mesjid dalam bentuk panggung yang berada  sebelah barat alun alun di Desa Majalengka kulon atau sebelah kiri depan  balai desa Majalengka kulon(sebelum di pindahkan).   Pemberian nama mesjid berawal dari keluarga KH.Imam Safari (Kakek dari KH. Abdul Halim)  yang mewakafkan sebagian tanahnya  untuk dibangun sebuah tempat ibadah sehingga untuk mengenangnya maka mesjid ini diberi nama Mesjid Al Imam. Mesjid ini telah mengalami beberapa kali  renovasi sampai kebentuknya mesjid yang sekarang. Berkat prakarsa Kyai Imam Safari yang saat itu menjabat sebagai penghulu kabupaten, mesjid itu kemudian direnovasi. Pengganti Kyai Imam Safari yakni Kyai Hasan Basyari sekitar tahun 1888 juga melakukan renovasi namun tidak merubah bentuk .Baru pada tahun 1900 dibawah pimpinan Bupati Raden Mas Salam Salmon dengan penghulu kabupaten Kyai Haji Muhammad Ilyas terjadi perubahan secara menyeluruh hingga mesjid yang tadinya berbentuk panggung dirubah menjadi lantai.


Bentuk mesjid tahun 50an menurut sumber cerita , masih sangat sederhana bangunan mesjid ada dua lokal dengan dua atap tersambung, dilokal yang pertama ada empat tiang tinggi persegi  dari kayu jati yang kokoh menopang ruang diatas seperti tingkat atau loteng yang disertai tangga untuk keatas,  ini bukan loteng tapi hanya sekedar ruang tempat bedug atau pengeras suara lainnya kemudian sekeliling mesjid dipagari dari besi dengan bentuk sederhana dari tiang satu ke tiang lainnya, diatas bangunan ada semacam tanda mesjid terbuat dari gerabah buatan plered berbentuk segitigabulatpanjang terletak diatap mesjid .(penulis mencoba untuk menggambarkannya berdasarkan keterangan yang didapat tentang mesjid Al Imam tahun 1950an)    

Mesjid Al-Imam kemudian mengalami perombakan total terjadi pada tahun 1967 pada masa Bupati Kolonel Rd. Anwar Sutisna dan dilanjutkan oleh Bupati Rd.Saleh Sediana.Mesjid yang tadinya hanya satu lantai berubah bentuk menjadi dua lantai .
Perombakan total mesjid tersebut memakan waktu yang cukup lama ,secara keseluruhan pembangunan Mesjid Al-Imam baru dapat dituntaskan pada tahun 1977.Pada masa kepemimpinan Bupati Haji Rd.E.Djaelani SH pada tahun 1984 mesjid ini dirobak sekaligus diperluas agar bisa menampung jamaah lebih banyak.

Pada tahun 1990 Mesjid Al-Imam terus dipercantik dengan merubah bentuk atapnya menjadi bentuk kubah.Dan terakhir pada tahun 2003 pada masa kepemimpinan Bupati Hj.Tutty Hayati Anwar.SH.M.Si.,dilakukan renovasi bagian dalam dan pembangunan empat buah kubah .