Kamis, 17 September 2015
Selasa, 15 September 2015
Sejarah Pabrik Genteng Jatiwangi
Masyarakat Jatiwangi sebelum abad ke – 20 masih
menganggap tabu apabila tanah yang biasanya berada dibawah, ditempatkan diatas
kepala , seperti genteng. Pada waktu itu tidak ada rumah yang terbuat dari
tanah , batu dan pasir. Menurut pendapat mereka benda- benda tersebut harus ada
dibagian bawah, sedangkan untuk bagian atasnya boleh berupa kayu kayuan dan
daun daunan. Rumah penduduk pada saat itu hanya bertiang kayu dan bambu,
berdingding ayaman bambu atau papan
serta beratapkan dari daun aren, Rumbia
atau alang-alang. Rumah rumah yang bertembok pada saat itu hanyalah rumah rumah
orang Belanda. Adalah H. Umar Bin Ma’ruf
pada tahun 1905 yang berkeinginan untuk memperbaiki langgarnya (surau )
dengan memakai atap genteng namun karena pada saat itu tidak ada yang bisa
membuat genteng oleh karena itu beliau mendatangkan seorang ahli pembuat
genteng dari pesantren Babakan Jawa,Majalengka bernama Barnawi. Kemudian H.
Umar mendirikan tempat pembakaran genteng di Cikarokrok, sebelah barat Sungai
Cipinang, Burujulwetan.
Dengan berdirinya langgar H Umar yang
beratapkan genteng maka tertariklah
orang – orang ‘mampu’ untuk membuat rumah beratapkan genteng. Pada waktu
itu juga bermunculan para pengrajin baru genteng di distrik jatiwangi seperti
H. Manan , Wiyot, H. Asy’ari dan lain lain.
Dengan demikian masyarakat Jatiwangi pada masa
itu sudah meninggalkan kepercayaan mereka yang menganggap tabu memakai genteng. Pada saat itu perkembangan kerajinan
genteng belum tampak pesat karena beberapa hal , hanya beberapa orang saja yang
menjadi pengrajin genteng. Hal hal yang menjadi kendala perkembangan kerajinan
genteng pada saat itu adalah proses produksi yang masih sederhana yaitu
peralatan yang dipakai dalam industri genteng waktu itu adalah cangkul/singkep
yang berfungsi untuk mengolah bahan baku(tanah liat) dan cetakan yang terbuat
dari kayu yang dihaluskan, kemudian hal lain adalah tranportasi yang masih sederhana
yaitu gerobak yang ditarik oleh kerbau.
Pada tahun 1930an industri kecil ini mulai mendapatkan perhatian Pemerintah kolonial Belanda dengan mengadakan pengujian terhadap kualitas genteng yang dihasilkan pengrajin untuk menghasilkan kualitas genteng terbaik bagi pembangunan kantor dan perumahan pegawai pemerintah pada waktu itu
Minggu, 13 September 2015
Sejarah Pendidikan Guru di Majalengka
Pendidikan formal bagi penduduk pribumi baru
berlangsung setelah Raja Belanda mengeluarkan keputusan nomor 95 tanggal 30
september 1848. Keputusan itu memberikan wewenang kepada Gubernur Jendral
Hindia Belanda untuk menyediakan dana sebesar 25 0000 gulden per tahun, guna
pendirian sekolah Bumiputra dipulau Jawa, dengan tujuan utama mendidik calon
calon pegawai negeri
Memasuki awal abad ke – 20 pendidikan di Hindia
Belanda termasuk di Majalengka ditandai dengan berkembangannya pendidikan
colonial sebagai dampak pertumbuhan perkebunan. Pendirian berbagai lembaga
pendidikan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dibidang administrasi, termasuk
administrasi perkebunan serta tenaga ahli lainnya.
Sekolah Desa di Majalengka mulai dibangun
ketika pemerintahan Bupati RAA Aria Sastra Ningrat 1902 – 1922 akan tetapi
sekolah dengan nama yang lain seperti madrasah dan sekolah pribumi sudah ada dalam
keterangan Kolonial verslag tahun
1864.
Dalam almanak Belanda tahun 1920 diterangkan
pekerjaan dan pangkat yang dapat dipegang atau dicapai oleh orang pribumi
adalah yang mempunyai pendidikan dasar. Sekolah pada masa penjajahan Belanda
itu dibagi menjadi dua macam ;
Kedua,Sekolah calon yaitu sekolah yang diterapkan,
untuk satu pekerjaan saja terdiri dari Osvia sekolah untuk anak anak bangsawan
untuk dijadikan pegawai pemerintah, Bestuursschool(sekolah
bistir), Kweekschool Voor Inlandshe
Onderwijzers (sekolah Raja), Normaalscholen
voor Inlandsche onderwijzers (sekolah Normal) dan lain lain.
Kondisi pendidikan di Majalengka kurang begitu
baik dibandingkan dengan daerah lain hal ini disebabkan kurang prasarana sekolah.
Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi , penduduk Majalengka
sering dihadapkan pada beberapa hambatan diantaranya politik Belanda yang
mengadakan diskriminasi di bidang pendidikan. Perbedaan ras dan dan warna
kulit(orang Eropa, Cina dan Pribumi). Pelayanan terhadap penduduk majalengka
pun demikian. Seperti perbedaan anak anak dari golongan rakyat jelata dengan anak anak pejabat seperti Bupati,
wedana dan lain lain mereka bisa bersekolah di sekolah Belanda seperti HIS. untuknya mereka dapat melanjutkan
ke MULO di Bandung yang lama pendidikannya selama tiga tahun.
Untuk bisa bersekolah di HIS tidaklah mudah
untuk kalangan rakyat biasa karena butuh biaya pendidikan sangat mahal untuk
ukuran ekonomi saat itu . Biaya sekolah di HIS sebesar tiga dacin beras (tiga
dacin sama dengan tiga kuintal beras cianjur yang paling bagus) jika dibayarkan
dengan uang sebesar dua perak setengah, dua perak lima ketip. Kecerdasan juga
ikut menentukan karena jika si anak tidak bisa mengikuti pelajaran maka bisa
dikeluarkan dari sekolah.Sesudah Indonesia merdeka dibekas gedung HIS Pada tahun 1950an di Majalengka berdiri Sekolah Guru bagian B atau disingkat SGB. Sekolah Guru ini memberlakukan sistim ikatan dinas dengan setiap bulannya menerima gaji 125 rupiah ,cukup untuk hidup satu bulan karena pada waktu itu membeli pakaian lengkap ;sarung, koko dan kopiah pun hanya seharga “satalen” atau 25 sen, bisa dibayangkan gaji yang didapatkan untuk memenuhi tuntutan hidup dijaman sekarang? Gaji pertama guru pada saat itu pun tidak jauh berbeda dengan murid SGB yaitu 148 Rupiah per bulan.
Selain menerima gaji
murid SGB juga disediakan asrama. Ada beberapa tempat asrama yang ada yaitu di
samping rumah Wedana Majalengka Wiraatmadja kalau sekarang Di jalan Sukarame atau
Letkol. Abdul Gani, asrama lainnnya di jalan Kh. Abdul Halim sekarang menjadi
gedung Graha Sindangkasih.
Setelah lulus dari
Sekolah Guru Bagian B bisa langsung
bertugas menjadi guru SD . Hanya Lulusan terbaik yang berhak mengikuti testing
untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah
Guru Bagian A disingkat SGA yang pada saat itu hanya ada di Bandung dan Bogor.
Lulusan SGA diperuntukan mengajar ditingkat SLTP
Seiring perkembangan
zaman untuk dituntut lebih meningkatkan kemampuan mengajar para guru maka tahun
60an SGB ditingkatkan Menjadi SGA dan selanjutnya menjadi Sekolah Pendidikan Guru atau disingkat SPG hal ini setara dengan SGA. Dan pada tahun
70an para guru lulusan SGB untuk meningkatkan kemampuan mengajar maka diadakan Kursus Pendidikan Guru atau KPG
yang bertempat digedung SPG atau gedung SMA 2
Madjalengka sekarang. Sampai saat ini gedung ini masih berdiri dan terawat , ikut andil dalam perkembangan sejarah kota Majalengka (dari berbagai sumber ; dan cerita kedua orangtua penulis sebagai lulusan angkatan pertama dan kedua dari SGB)
Langganan:
Postingan (Atom)